InspirasI

Rabu, 14 Juni 2017

KISAH NYATA MENGGUGAH JIWA

Diceritakan oleh seorang Khatib ketika Khutbah Jum'at:

Seorang anak berumur 10 th namanya Umar. Dia anak pengusaha sukses yang kaya raya. Oleh ayahnya si Umar di sekolahkan di SD Internasional paling bergengsi di Jakarta. Tentu bisa ditebak, bayarannya sangat mahal. Tapi bagi si pengusaha, tentu bukan masalah, karena uangnya berlimpah.
Si ayah berfikir kalau anaknya harus mendapat bekal pendidikan terbaik di semua jenjang, agar anaknya kelak menjadi orang yg sukses mengikuti jejaknya.
Suatu hari isterinya kasih tau kalau Sabtu depan si ayah diundang menghadiri acara “Father’s Day” di sekolah Umar.
“Waduuuh saya sibuk mah, kamu aja deh yang datang.” begitu ucap si ayah kepada isterinya.
Bagi dia acara beginian sangat nggak penting, dibanding urusan bisnis besarnya. Tapi kali ini isterinya marah dan mengancam, sebab sudah kesekian kalinya si ayah nggak pernah mau datang ke acara anaknya. Dia malu karena anaknya selalu didampingi ibunya, sedang anak-anak yang lain selalu didampingi ayahnya.
Nah karena diancam isterinya, akhirnya si ayah mau hadir meski agak ogah-ogahan. Father’s day adalah acara yang dikemas khusus dimana anak-anak saling unjuk kemampuan di depan ayahnya.
Karena ayah si Umar ogah-ogahan maka dia memilih duduk di paling belakang, sementara para ayah yg lain (terutama yg muda2) berebut duduk di depan agar bisa menyemangati anak-anaknya yang akan tampil di panggung.
Satu persatu anak-anak menampilkan bakat dan kebolehannya masing-masing. Ada yg menyanyi, menari, membaca puisi, pantomim. Ada pula yang pamerkan lukisannya, dll. Semua mendapat applause yang gegap gempita dari ayah-ayah mereka.
Tibalah giliran si Umar dipanggil gurunya untuk menampilkan kebolehannya...
“Miss, bolehkah saya panggil pak Arief.” tanya si Umar kpd gurunya. Pak Arief adalah guru mengaji untuk kegiatan ekstra kurikuler di sekolah itu.
”Oh boleh..” begitu jawab gurunya.
Dan pak Arief pun dipanggil ke panggung.“Pak Arief, bolehkah bapak membuka Kitab Suci Al Qur’an Surat 78 (An-Naba’)” begitu Umar minta kepada guru ngajinya.
”Tentu saja boleh nak..” jawab pak Arief.
“Tolong bapak perhatikan apakah bacaan saya ada yang salah.”
Lalu si Umar mulai melantunkan QS An-Naba’ tanpa membaca mushafnya (hapalan) dengan lantunan irama yg persis seperti bacaan “Syaikh Sudais” (Imam Besar Masjidil Haram).
Semua hadirin diam terpaku mendengarkan bacaan si Umar yg mendayu-dayu, termasuk ayah si Umar yang duduk dibelakang.
”Stop, kamu telah selesai membaca ayat 1 s/d 5 dengan sempurna. Sekarang coba kamu baca ayat 9..” begitu kata pak Arief yg tiba2 memotong bacaan Umar.
Lalu Umar pun membaca ayat 9.
”Stop, coba sekarang baca ayat 21..lalu ayat 33..” setelah usai Umar membacanya…lalu kata pak Arief, "Sekarang kamu baca ayat 40 (ayat terakhir)”.
Si Umar pun membaca ayat ke 40 tsb sampai selesai."
“Subhanallah…kamu hafal Surat An-Naba’ dengan sempurna nak,” begitu teriak pak Arief sambil mengucurkan air matanya.
Para hadirin yang muslim pun tak kuasa menahan airmatanya. Lalu pak Arief bertanya kepada Umar, ”Kenapa kamu memilih menghafal Al-Qur’an dan membacakannya di acara ini nak, sementara teman2mu unjuk kebolehan yg lain?” begitu tanya pak Arief penasaran.
Begini pak guru, waktu saya malas mengaji dalam mengikuti pelajaran bapak, Bapak menegur saya sambil menyampaikan sabda Rasulullah SAW, ”Siapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” Dijawab, "Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur’an.” (H.R. Al-Hakim).
“Pak guru, saya ingin mempersembahkan “Jubah Kemuliaan” kepada ibu dan ayah saya di hadapan Allah di akherat kelak, sebagai seorang anak yang berbakti kepada kedua orangnya..”
Semua orang terkesiap dan tidak bisa membendung air matanya mendengar ucapan anak berumur 10 tahun tsb…
Ditengah suasana hening tsb..tiba-tiba terdengar teriakan “Allahu Akbar!” dari seseorang yang lari dari belakang menuju ke panggung.
Ternyata dia ayah si Umar, yang dengan tergopoh-gopoh langsung menubruk sang anak, bersimpuh sambil memeluk kaki anaknya.
”Ampuun nak.. maafkan ayah yang selama ini tidak pernah memperhatikanmu, tidak pernah mendidikmu dengan ilmu agama, apalagi mengajarimu membaca Al Quran.” ucap sang ayah sambil menangis di kaki anaknya.
”Ayah menginginkan agar kamu sukses di dunia nak, ternyata kamu malah memikirkan “kemuliaan ayah” di akherat kelak. Ayah maluuu nak" ujar sang ayah sambil nangis tersedu-sedu.
Semua jama’ah pun terpana, dan juga mulai meneteskan airmatanya, termasuk saya. Diantara jama’ah pun bahkan ada yang tidak bisa menyembunyikan suara isak tangisnya, luar biasa haru. Entah apa yang ada dibenak jama’ah yang menangis itu. Mungkin ada yang merasa berdosa karena menelantarkan anaknya, mungkin merasa bersalah karena lalai mengajarkan agama kepada anaknya, mungkin menyesal krn tdk mengajari anaknya membaca Al Quran, atau merasa berdosa karena malas membaca Al-Qur’an yg hanya tergeletak di rak bukunya.
Wallahu ‘alam bish shawab

Tidak ada komentar: