InspirasI

Rabu, 14 Juni 2017

KISAH MENDAPAT QODARAN VERSI WONG CILIK

Wong cilik yang tidak pernah mendapat THR maupun bonus*
(Sebuah kontemplasi kehidupan ra kyat kecil ...)
"Wah…pisangnya bagus-bagus Mbah…"
kataku sembari berjongkok di depan perempuan sepuh yang berjualan di pinggir jalan depan pasar...
"Lha monggo dipundut (dibeli)..."kata perempuan itu riang.
Sungguh sudah sangat sepuh, rautnya penuh kerut. Kulitnya hitam. Kurus badannya.
Tapi suaranya  cemengkling  masih nyaring),  riang. Giginya terlihat masih utuh.
"Ini kepok kuning… bagus dikolak.
 Ini kepok putih… kalau digoreng sangat manis..
Lha kalau itu… pisang pista, kulit tipis… harum manis.
Tapi jangan dibeli karena belum mateng…
Aku hanya diam memperhatikan gerak tangannya yang cekatan, meskipun telah ndredheg   (gemetar.)
"Sudah lama jualan, Mbah…?"
"Belum, ini ngejar rejeki buat lebaran."
Putranya berapa Mbah?"
"Kathah_ (banyak) ..… pada  glidik  (kerja)…"
"Kok nggak istirahat saja to Mbah… siyam-siyam kok jualan"
"Lha nggih, ini karena siyam niku to , nggak boleh istirahat..."
Mumpung Gusti Allah   paring  (beri)  sehat…"
Aku tercenung dengan jawaban perempuan sepuh itu....
Kulihat tangannya mengelap  kening dan dahinya yang  dlèwèran  (bercucuran) keringat dengan selendang lusuhnya....
Diantara para penjual ‘liar’ dipinggir jalan depan pasar itu, perempuan sepuh ini satu diantaranya yang menggelar dagangan tanpa   iyup iyup  (peneduh).
Padahal hari itu panas luar biasa.
"Kalau pulang jam berapa Mbah?"
"Jam tiga sudah pulang ..…, lha ada kewajiban nyiapkan   wedang  (minum) buat anak-anak TPA."
"Kok kewajiban, yang mewajibkan siapa Mbah ?"
"Nggih kula , (ya saya sendiri) …"
"Ooo…begitu…. Setiap hari, selama puasa?"
“Inggih… wong cuma  anak limapuluhan..."
 "Wah  panjenengan   (anda)   hebat nggih Mbah…"
"Halah cuma wedang sama pegangan kecil-kecil...
Yang penting bocah-bocah rajin ngaji…, mbah sudah seneng.
Jangan bodoh kaya Mbah ini yang cuma bisa Fatihah..."_
Aku makin tercekat. 
Kumasukkan semua pisang yang ditawarkan ke dalam tas kresek.
"Kok banyak banget... mau buat apa, mas?
Tanya si mbah heran.
Aku hanya tersenyum.
"Semua berapa Mbah?"
Perempuan sepuh itu menyebutkan nominal yang membuatku tercengang....
"Kok murah banget Mbah…"
"Mboten  (ah enggak)…itu sudah pas, ini bukan pisang kulakan  (dari beli),  panen kebun sendiri..."
"Nggih…matur nuwun…"  kataku sembari mengulurkan uang.
"Aduh… nggak ada kembalian , belum  kepayon  (laku)…"
"Saya tukar dulu Mbah…"
Aku sengaja meninggalkan perempuan sepuh itu. 
Pisang telah kuletakkan di mobil. 
Mesin mobil pun kunyalakan....
Agak menjauh dari perempuan sepuh itu..
Kumasukkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan yang masih baru, ke dalam amplop,
Cukup dibagi satu satu untuk anak TPA 
yang katanya berjumlah limapuluhan tadi.
Penutup lem amplop kubuka lalu kurapatkan.
Ini mbah, sudah saya tukar, sudah pas  nggih..."
Perempuan sepuh itu menerima amplop masih dengan tangan _dredheg_ gemetar.
Tanpa menunggu jawaban, aku segera pergi.
Esoknya aku mampir lagi…tapi kosong
Berikutnya aku mampir lagi…kosong juga.
Penasaran kutanyakan pada ibu pedangang sebelahnya.
"Mbahe kok nggak jualan Mbak?"
"Oh nggak, beliau … jualan kalau panen pisang aja...
Sampeyan to yang kemarin ngasih amplop.
Walah Mbahe nangis ngguguk (tersedu-sedu) ..… jare bejo , (katanya beruntung) & dapet  qodaran."
Barangkali yang dimaksudkan adalah  lailatul qodar.
Malam yang konon lebih baik dari 1000 bulan.
Para malaikat turun dari langit. Ke langit hati kita. Menyelesaikan segala urusan.
Allah melapangkan rejeki dan kemuliannya bagi yang dikehendaki,
Pun mempersempit bagi yang dikehendaki pula...
Rejeki sesuai kapasitas kita.
Lantas siapakah yang mendapatkannya ??
………………..
Barangkali perempuan sepuh inilah yang mendapatkannya.
Bukan karena ia ahli ibadah...
Bukan pula karena I’tikafnya yang  kuat di masjid.
Tapi dialah pelaksana dari yang katanya ‘hanya’ bisa *fatihah* itu.
Kesungguhan I’tikaf yang luar biasa. 
Bertindak, berlaku, dan berpasrah dalam keriangan rasa.
I’tikaf di masjid yang digelar dalam keluasan yang maha.
Bukan masjid yang sekedar bangunan ibadah.
Kecintaannya yang sederhana dengan penyiapan  wedang  dan penganan bagi limpuluhan bocah selama puasa, sungguh bukan perkara mudah.
Hanya cinta tuluslah yang bisa.
……………..
Aku jadi teringat  pertanyaan teman, 
tentang pencapaian  Lailatul Qadar._
Benarkah memang ia turun di 10 hari terakhir malam ganjil?
Maka …malam terbaik dari 1000 bulan bukanlah instan...
Tak bisa dijujug_ dengan akhiran... 
semua butuh proses…. karena karunia terindah butuh _wadah_.
Yang dibangun dengan mengais kebaikan, sebelum, selama dan sesudah Ramadhan.
Itulah sesungguhnya *QODARAN*
Sumber : copypaste wa.

Tidak ada komentar: