MISKIN ILMU, JAGO NGAMBEK
Dalam kitabnya, I’laam al-Muwaqqi’in (3/13), Imam
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (751 H) menceritakan kisah gurunya, yaitu Imam Ibnu
Taimiyah (728 H) ketika beliau dan para pengikutnya melihat segerombolan
pasukan Mongol yang bermabukan minum khamr.
Melihat kejadian itu, para pengikut sang Imam
geram dan marah sekali. Dan sebagai bentuk amru bil-ma’ruf wa nahyu
‘anil-munkar, salah satu pengikutnya bergegas untuk memberikan peringatan
kepada pasukan Mongol itu. Tapi anehnya ia malah ditahan oleh Imam Ibnu
Taimiyah sendiri, dan beliau melarangnya mencegah mereka meminum khamr.
Melihat apa yang dilakukan oleh Imam Ibnu
Taimiyah, para pengikutnya heran dan kebingungan, kenapa sang Imam membiarkan
mereka meminum khamr tanpa mencegahnya? Kenapa juga sang Imam mencegah salah
satu pengikutnya yang ingin mencegah kemunkaran tersebut?
Akhirnya para pengikutnya paham, yang awalnya
geram dan marah, sejenak mulai menunduk tanda mengerti bahwa sang Imam sedang
mengajarkan fiqih dakwah kepada mereka. Sang Imam sedang mempraktekkan
bagaimana caranya berdakwah ketika melihat ada kemungkaran terjadi di depan
mata.
Mencegah
Kemunkaran Dengan Tidak Menimbulkan Kemunkaran Baru
Mereka
akhirnya mengerti bahwa sang Imam bukan sedang membiarkan kemunkaran terjadi,
justru sang Imam sedang menjaga agar kemunkaran yang lebih besar tidak terjadi.
Sang Imam sangat visioner, melihat ke depan akan dampak yang mungkin terjadi.
Pasukan Mongol itu dibiarkan oleh sang Imam
meminum khamr, karena keadaan mabuk mereka lebih baik daripada keadaan sadar
mereka. Kalau mereka mabuk, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali bersandar
menikmati hilangnya akal mereka. Akan tetapi ketika mereka sadar, mereka justru
jauh lebih ganas; mereka bisa membunuh, menawan anak-anak dan keluarga serta
merampas harta mereka juga. Ada kemunkaran yang jauh lebih besar terjadi.
Sang Imam
mengajarkan fiqih dakwah yang baik kepada pengikut. Ketika mencegah sebuah
kemunkaran, syarat mutlak adalah bahwa cara yang ditempuh itu tidak menimbulkan
kemungkaran baru. Kalau mencegah kemungkaran akan tetapi malah menimbulkan
kemungkaran yang baru, lalu apa gunanya?
Justru amar
mk’ruf nahi mungkar itu gunanya untuk mencegah kemungkaran tidak terjadi. Kalau
mencegah kemungkaran tapi menimbulkan kemungkaran baru, tujuan dakwah tidak
terlaksana.
Ini cerdasnya
sang Imam, beliau mengisyaratkan bahwa yang namanya dakwah, syarat utamanya
adalah ilmu. Mengerti ilmu syariah-nya, menguasai medan dakwahnya, dan paham
siapa yang didakwahi.
SYARAT DAKWAH=
ILMU!
Ini juga yang
beliau tulis dalam kitabnya al-Istiqamah (2/233), bahwa syarat mutlak bagi
mereka yang ingin ber-amar ma’ruf nahyi mungkar yaitu ILMU. Untuk maju ke medan
dakwah, bukan hanya semangat yang dibutuhkan, tapi juga ilmu yang cukup, agar
dakwahnya tidak asal sruduk dan tidak grasak-grusuk.
Begitu juga, makin banyak seorang pendakwah
pengetahunnya tentang syariah dan perbedaan fiqih serta pandangan-pandangan
ulama dan madzhab dengan dalil-dalilnya, ia akan jauh lebih wise dalam
dakwahnya. Ia tidak akan langsung memvonis salah atau sesat ketika melihat ada
yang berbeda, karena ia tahu bahwa dalam satu masalah, bukan hanya ada satu
pandangan, tapi ada juga pandangan lain dari ulama.
MISKIN ILMU, BANYAK NGAMBEKNYA.
Dan sebaliknya, orang yang sedikit ilmunya, pasti
banyak ingkarnya. Maksudnya ia justru sering marah dan mengingkari apa yang
dilakukan oleh saudaranya itu hanya karena mereka melakukan ritual yang ia
tidak lakukan. Bahkan tidak jarang –dengan beraninya- mereka memvonis orang
lain sesat, salah serta keliru. Padahal masalahnya adalah masalah yang masih
dalam perdebatan ulama.
Akhirnya, karena hanya punya ilmu satu-satunya
dari guru yang satu dan tak mau menimba serta memikul ilmu dari yang guru yang
berbeda, tertanam dalam diri bahwa kebenaran hanya pada dirinya. Jadilah ia
pendakwa yang sering marah dan susah bergaul.
Hari-harinya hanya diisi oleh kemarahan dan
menyalahkan orang lain. Persis anak kecil yang sedang ngambek. Dari kata ambek
/ ambek-an yang dalam bahasa Indonesia artinya suka marah.
Anak kecil yang sedang ngambek, tidak ada yang ia
lakukan kecuali menyalahkan semua orang yang tidak ikut sejalan dengan dia.
Orang tua, kakak, dan adiknya semua dipaksa ikut dengannya karena sedang
ngambek. Ngambek-nya tidak akan selesai kecuali semua mengikuti aturannya,
pokoknya yang benar itu hanya ia seorang. Begitulah kelakukan anak kecil yang
sedang ngambek.
Pendakwah yang kerjaannya hanya marah dan
menyalahkan, tidak ada bedanya antara dirinya dengan anak kecil yang suka
ngambek.
Menyakini
bahwa shalat subuh itu pakai qunut, ketika melihat ada yang tidak qunut, ia
marah lalu ngambek. Tidak jauh beda dengan yang meyakini tidak ada qunut,
melihat ada yang qunut akhirnya ngambek malah bikin masjid baru yang tidak ada
qunut-nya.
Yang ia tahu
bahwa puasa 6 hari syawal itu sunnah, tapi ketika mendengar ada yang mengatakan
itu makruh, ia langsung marah dan mengatakan itu salah, ngambek. Padahal
pendapat puasa 6 hari syawal itu pandangan madzhab al-Malikiyah dan
al-Hanafiyah.
Sudah paten
tertancap dalam jiwanya, bahwa yang namanya shalat jum’at itu mulainya setelah
masuk waktu zuhur. Ketika melihat ada yang adzan jumat sebelum masuk waktu
zuhur, ia ngambek dan marah sejadi-jadinya serta mengumpat yang berbeda.
Padahal dalam madzhab al-Hanabilah tidak disyaratkan shalat jumat harus di
waktu zuhur, boleh sebelumnya.
Tahunya bahwa
celana itu harus di atas mata kaki. Pas melihat ada ustadz yang celananya di
bawah mata kaki, ia bilang ngambek tidak mau lagi mendengar materi dari ustadz
tersebut. Padahal seandainya ia mau belajar, perkaranya masih dalam perdebatan.
Bahkan pendapat 4 madzhab secara resmi tidak ada yang mewajibka harus di atas
mata kaki.
Yang diyakini bahwa muslim itu harus berjenggot.
Ketika melihat ada imam shalat/ustadz yang tidak berjenggot atau terlihat
mencukur jenggot, dengan mudah ia menyalahkan dan akhirnya ngambek, tidak mau
shalat di belakang imam yang mencukur jenggotnya. Padahal kalau mau belajar, ia
akan mengerti perkara jenggotnya sendiri.
Seandainya mereka tahu lebih banyak tentang
perbedaan pandangan, tentang madzhab fiqih, tenang hukum syariah, pastinya
tidak akan jadi orang yang ngambekan. Seandainya ...
Jadi, agar dakwahnya tepat dan diterima, syarat
mutlak –seperti yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah- adalah Ilmu yang
cukup. Makin banyak ilmu, makin banyak tahu, makin banyak tahu, makin sadar
bahwa dirinya serasa makin bodoh. Merasa diri bodoh, tentu tidak mudah menuduh.
Membuka cakrawala syariah serta tidak stag hanya pada satu pandangan.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar