InspirasI

Kamis, 29 Juni 2017


MISKIN ILMU,  JAGO NGAMBEK

Dalam kitabnya, I’laam al-Muwaqqi’in (3/13), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (751 H) menceritakan kisah gurunya, yaitu Imam Ibnu Taimiyah (728 H) ketika beliau dan para pengikutnya melihat segerombolan pasukan Mongol yang bermabukan minum khamr.
Melihat kejadian itu, para pengikut sang Imam geram dan marah sekali. Dan sebagai bentuk amru bil-ma’ruf wa nahyu ‘anil-munkar, salah satu pengikutnya bergegas untuk memberikan peringatan kepada pasukan Mongol itu. Tapi anehnya ia malah ditahan oleh Imam Ibnu Taimiyah sendiri, dan beliau melarangnya mencegah mereka meminum khamr.
Melihat apa yang dilakukan oleh Imam Ibnu Taimiyah, para pengikutnya heran dan kebingungan, kenapa sang Imam membiarkan mereka meminum khamr tanpa mencegahnya? Kenapa juga sang Imam mencegah salah satu pengikutnya yang ingin mencegah kemunkaran tersebut?
Akhirnya para pengikutnya paham, yang awalnya geram dan marah, sejenak mulai menunduk tanda mengerti bahwa sang Imam sedang mengajarkan fiqih dakwah kepada mereka. Sang Imam sedang mempraktekkan bagaimana caranya berdakwah ketika melihat ada kemungkaran terjadi di depan mata.
Mencegah Kemunkaran Dengan Tidak Menimbulkan Kemunkaran Baru
Mereka akhirnya mengerti bahwa sang Imam bukan sedang membiarkan kemunkaran terjadi, justru sang Imam sedang menjaga agar kemunkaran yang lebih besar tidak terjadi. Sang Imam sangat visioner, melihat ke depan akan dampak yang mungkin terjadi.
Pasukan Mongol itu dibiarkan oleh sang Imam meminum khamr, karena keadaan mabuk mereka lebih baik daripada keadaan sadar mereka. Kalau mereka mabuk, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali bersandar menikmati hilangnya akal mereka. Akan tetapi ketika mereka sadar, mereka justru jauh lebih ganas; mereka bisa membunuh, menawan anak-anak dan keluarga serta merampas harta mereka juga. Ada kemunkaran yang jauh lebih besar terjadi.
Sang Imam mengajarkan fiqih dakwah yang baik kepada pengikut. Ketika mencegah sebuah kemunkaran, syarat mutlak adalah bahwa cara yang ditempuh itu tidak menimbulkan kemungkaran baru. Kalau mencegah kemungkaran akan tetapi malah menimbulkan kemungkaran yang baru, lalu apa gunanya?
Justru amar mk’ruf nahi mungkar itu gunanya untuk mencegah kemungkaran tidak terjadi. Kalau mencegah kemungkaran tapi menimbulkan kemungkaran baru, tujuan dakwah tidak terlaksana.
Ini cerdasnya sang Imam, beliau mengisyaratkan bahwa yang namanya dakwah, syarat utamanya adalah ilmu. Mengerti ilmu syariah-nya, menguasai medan dakwahnya, dan paham siapa yang didakwahi.

SYARAT DAKWAH= ILMU!
Ini juga yang beliau tulis dalam kitabnya al-Istiqamah (2/233), bahwa syarat mutlak bagi mereka yang ingin ber-amar ma’ruf nahyi mungkar yaitu ILMU. Untuk maju ke medan dakwah, bukan hanya semangat yang dibutuhkan, tapi juga ilmu yang cukup, agar dakwahnya tidak asal sruduk dan tidak grasak-grusuk.
Begitu juga, makin banyak seorang pendakwah pengetahunnya tentang syariah dan perbedaan fiqih serta pandangan-pandangan ulama dan madzhab dengan dalil-dalilnya, ia akan jauh lebih wise dalam dakwahnya. Ia tidak akan langsung memvonis salah atau sesat ketika melihat ada yang berbeda, karena ia tahu bahwa dalam satu masalah, bukan hanya ada satu pandangan, tapi ada juga pandangan lain dari ulama.

MISKIN ILMU, BANYAK NGAMBEKNYA.
Dan sebaliknya, orang yang sedikit ilmunya, pasti banyak ingkarnya. Maksudnya ia justru sering marah dan mengingkari apa yang dilakukan oleh saudaranya itu hanya karena mereka melakukan ritual yang ia tidak lakukan. Bahkan tidak jarang –dengan beraninya- mereka memvonis orang lain sesat, salah serta keliru. Padahal masalahnya adalah masalah yang masih dalam perdebatan ulama.
Akhirnya, karena hanya punya ilmu satu-satunya dari guru yang satu dan tak mau menimba serta memikul ilmu dari yang guru yang berbeda, tertanam dalam diri bahwa kebenaran hanya pada dirinya. Jadilah ia pendakwa yang sering marah dan susah bergaul.
Hari-harinya hanya diisi oleh kemarahan dan menyalahkan orang lain. Persis anak kecil yang sedang ngambek. Dari kata ambek / ambek-an yang dalam bahasa Indonesia artinya suka marah.
Anak kecil yang sedang ngambek, tidak ada yang ia lakukan kecuali menyalahkan semua orang yang tidak ikut sejalan dengan dia. Orang tua, kakak, dan adiknya semua dipaksa ikut dengannya karena sedang ngambek. Ngambek-nya tidak akan selesai kecuali semua mengikuti aturannya, pokoknya yang benar itu hanya ia seorang. Begitulah kelakukan anak kecil yang sedang ngambek.
Pendakwah yang kerjaannya hanya marah dan menyalahkan, tidak ada bedanya antara dirinya dengan anak kecil yang suka ngambek.
Menyakini bahwa shalat subuh itu pakai qunut, ketika melihat ada yang tidak qunut, ia marah lalu ngambek. Tidak jauh beda dengan yang meyakini tidak ada qunut, melihat ada yang qunut akhirnya ngambek malah bikin masjid baru yang tidak ada qunut-nya.
Yang ia tahu bahwa puasa 6 hari syawal itu sunnah, tapi ketika mendengar ada yang mengatakan itu makruh, ia langsung marah dan mengatakan itu salah, ngambek. Padahal pendapat puasa 6 hari syawal itu pandangan madzhab al-Malikiyah dan al-Hanafiyah.
Sudah paten tertancap dalam jiwanya, bahwa yang namanya shalat jum’at itu mulainya setelah masuk waktu zuhur. Ketika melihat ada yang adzan jumat sebelum masuk waktu zuhur, ia ngambek dan marah sejadi-jadinya serta mengumpat yang berbeda. Padahal dalam madzhab al-Hanabilah tidak disyaratkan shalat jumat harus di waktu zuhur, boleh sebelumnya.
Tahunya bahwa celana itu harus di atas mata kaki. Pas melihat ada ustadz yang celananya di bawah mata kaki, ia bilang ngambek tidak mau lagi mendengar materi dari ustadz tersebut. Padahal seandainya ia mau belajar, perkaranya masih dalam perdebatan. Bahkan pendapat 4 madzhab secara resmi tidak ada yang mewajibka harus di atas mata kaki.
Yang diyakini bahwa muslim itu harus berjenggot. Ketika melihat ada imam shalat/ustadz yang tidak berjenggot atau terlihat mencukur jenggot, dengan mudah ia menyalahkan dan akhirnya ngambek, tidak mau shalat di belakang imam yang mencukur jenggotnya. Padahal kalau mau belajar, ia akan mengerti perkara jenggotnya sendiri.
Seandainya mereka tahu lebih banyak tentang perbedaan pandangan, tentang madzhab fiqih, tenang hukum syariah, pastinya tidak akan jadi orang yang ngambekan. Seandainya ...
Jadi, agar dakwahnya tepat dan diterima, syarat mutlak –seperti yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah- adalah Ilmu yang cukup. Makin banyak ilmu, makin banyak tahu, makin banyak tahu, makin sadar bahwa dirinya serasa makin bodoh. Merasa diri bodoh, tentu tidak mudah menuduh. Membuka cakrawala syariah serta tidak stag hanya pada satu pandangan.
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: