Pertapaan Ramadlan
Berlatih Mudik ke Sorga
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Ternyata bermacam-macam jalan yang
ditempuh oleh anak-anakku para Mu’takifin. I’tikaf itu semacam “olah batin”.
Ada yang “parkir” saja, diam di Masjid. I’tikaf memang memparkir kendaraan
dunia. Duduk, tidak ada mobilitas profesional, tidak ada perjuangan keduniaan,
tidak ada laba materi, meskipun dari sudut pandang sebaliknya I‘tikaf adalah
itu “tidak produktif”, karena “wasting time”, padahal “time is money”.
Syukur kepada
kemurahan Allah bahwa hampir tidak ada Kaum Muslimin yang berpikir bahwa
ibadah, bermacam-macam shalat, puasa, apalagi Zakat dan Haji, adalah pemborosan,
buang-buang duit, menyianyiakan waktu. Bahkan di tengah maniak materialisme
yang dipelopori oleh Peradaban Global yang semakin memuncak hari-hari ini,
justru itu semua membuat Kaum Muslimin menemukan kembali kemesraannya dengan
Allah. I’tikaf menjadi agenda yang semakin romantis dan penuh cinta bagi
mereka.
Duduk diam
saja di Masjid, itu sudah sebuah revolusi menuju Allah. Mungkin kosong saja,
jiwa hanya berisi ingatan kepada Allah. Jasad hanya rumah, Allah Maha Tuan
Rumahnya, sebab memang Ia pencipta dan pemilik rumah kehidupan kita. Kemarin
dunia menguasai rumah jiwa, sampai batin kita seperti kapal pecah. Segala isi
dunia berserak-serak di dalamnya: ada Mall, Supermarket, buku administrasi
Kantor, isi tambang, Negara, Perusahaan, ketimpangan ekonomi, ketidakseimbangan
sosial, persaingan dagang dan pemilihan umum. Segala macam yang artifisial dan
superfisial. Segala yang ditertawakan oleh nyawa ketika usia menua.
Salah satu
anak mengungkapkan: “Sebagaimana ketika ber-takbiratul-ihram, kedua tanganku
terangkat ke samping kepala, ujung jempolku menyentuh sudut bagian bawah
telinga: dunia berada di belakang punggung tanganku. Sebelum kuucapkan Allahu
Akbar, aku membisiki Dunia: Maaf aku pamit dan meninggalkanmu di belakang
punggungku. Sebab aku sedang menghadap Tuhan, Maha Pencipta kita semua”.
Anak ini memaknai I’tikaf adalah pembebasan diri dari dunia. Anak lain menyindir temannya: “Kita tidak boleh melarikan diri dari dunia, sebab kita dimandati untuk mengelola isi dunia. Tidak ada konsep lain dari Allah dalam menyelenggarakan kehidupan kita selain menjadikan kita Mandataris, Khalifah, di bumi. Jadi, I’tikaf bukan memerdekakan diri dari dunia. Opsi yang lebih proporsional mungkin: semacam mengambil jarak sejenak dari dunia, agar kita bisa ‘rekap’, evaluasi, review, muhasabah, sehingga besok kita lebih dewasa dan matang mengkhalifahi dunia”.
Tidak salah juga anak ini. Baginya I’tikaf adalah menarik nafas panjang, untuk menyusun kembali strategi dalam melayani problematika dunia. Maka I’tikaf baginya adalah Tafakkur, berkontemplasi, berhitung kembali, seluas-luasnya tapi juga selembut-lembutnya.
Anak ini memaknai I’tikaf adalah pembebasan diri dari dunia. Anak lain menyindir temannya: “Kita tidak boleh melarikan diri dari dunia, sebab kita dimandati untuk mengelola isi dunia. Tidak ada konsep lain dari Allah dalam menyelenggarakan kehidupan kita selain menjadikan kita Mandataris, Khalifah, di bumi. Jadi, I’tikaf bukan memerdekakan diri dari dunia. Opsi yang lebih proporsional mungkin: semacam mengambil jarak sejenak dari dunia, agar kita bisa ‘rekap’, evaluasi, review, muhasabah, sehingga besok kita lebih dewasa dan matang mengkhalifahi dunia”.
Tidak salah juga anak ini. Baginya I’tikaf adalah menarik nafas panjang, untuk menyusun kembali strategi dalam melayani problematika dunia. Maka I’tikaf baginya adalah Tafakkur, berkontemplasi, berhitung kembali, seluas-luasnya tapi juga selembut-lembutnya.
Bagi anak yang
lain, Tafakkur tidak akan memperoleh komprehensi pendalaman masalah kalau tidak
dilakukan dalam dialektika dengan Tadzakkur. Terdapat titik silang dinamis
antara Tafakkur dan Tadzakkur. Dengan Allah harus selalu ‘online’. Tidak ada
pandangan yang jernih atas sesuatu hal tanpa meminjam mripat Allah, karena tak
ada selain Ia yang punya mata dan mampu melihat. Tidak ada solusi kecuali yang
dilimpahkan dari hidayah Allah. Tidak ada gagasan, tidak ada ide, ilham,
apalagi fadhilah, ma’unah dan karomah, kecuali atas perkenan kemurahan Allah.
Sungguh aku
belajar dari berbagai pintu yang dimasuki oleh anak-anakku selama beri’tikaf:
Tadabbur, Tasyakkur, Tafaqquh, pun Tafsir, yang seluruhnya berada di dalam
atmosfer jiwa kerendahan hati Ta’awwudh, Tasbih, Tahlil, Tahmid dan Takbir. Aku
tidak terlalu cenderung menyatakan –kepada diriku sendiri: “alangkah benarnya
Islam”, sebab sejak kecil hidup adalah berjuang untuk tidak berjarak dari
kebenarannya. Juga bukan “alangkah baiknya Islam”, sebab Ibu dan Ayahku
menuntunku di jalanan kebaikan sosial itu sejak aku mulai bisa melangkahkan
kaki.
Mungkin
kuucapkan “alangkah mulianya Islam”, sebab ini tak pernah selesai kulatihkan.
Atau “alangkah indahnya Islam”, sebab inilah taburan cahaya-cahaya yang membuat
hidup kita menjadi sangat hidup, karena nikmat untuk meraihnya dari tahap ke
tahap.
Kini kuhimpun
refleksi anak-anakku para Mu’takifin ini. Ada yang mengurai terminologi “Sabil,
Syari’, Thariq dan Shirath” dengan pemetaan ilmiah. Ada yang mengungkap peta
alternasi strategi sosial “Robbunnas, Malikunnas dan Ilahinnas”. Ada yang
menggambar keanehan manusia yang “hidup di dunia tapi berhijrah ke dunia”,
sementara lainnya “berhijrah ke Allah dan Rasul-Nya”. Tentang pilihan sosial
“al-muhibbin, al-mahbubin ,dan al-mutahabbin”. Lainnya meraba pemetaan dan
mekanisme “Qadla, Iradah dan Amr”-nya Allah. Yang juga tak kalah menarik adalah
“Hari Keempat dalam Evolusi Enam Hari sebelum Qiyamah”.
Tetapi aku
menawar ke mereka agar kita mengalah beberapa hari ini –untuk menuturkan
hal-hal yang tidak terlalu jauh dari atmosfer psikologis Kaum Muslimin
hari-hari ini. Yakni situasi mudik. Ini Ramadlan hari-hari terakhir. Kebanyakan
orang Islam hatinya sudah berada di Hari Raya Idul Fitri. Sisa satu dua hari
puasanya tinggal seperti “ekor cecak mati”. Jiwa mereka sudah berada di
“Riyoyo”, “Bodo”, “Bakdo” atau “Lebaran”. Jangan dimarahi. Ummat kita sangat
kelaparan sejarahnya, dan sudah menetes air liurnya di depan pintu gerbang Idul
Fitri.
“Mudik adalah
latihan tahunan untuk membangun ketrampilan budaya agar kelak siap menjadi
penduduk Sorga”, salah seorang anakku menyahut, “mudik adalah tahap awal dari
pembelajaran ‘ilaihi roji’un’: kembali kepada Allah di kampung halaman asal
usul manusia sejak Bapak Adam didomisilikan dahulu kala. Sebab sistem nilai
sorga, software dan hardwarenya, mestinya berbeda dengan Dunia. Kalau kita
hanya melatihkan dialektika dan mobilitas materialisme seperti selama ini,
kelak bisa bengong di Sorga”.
“Setiap jiwa
melakukan perjumpaan dan perjanjian dengan Allah sebelum ditugaskan untuk
menjadi Khalifah di bumi. Perjumpaan itu di Sorga. Hanya saja begitu manusia
lahir ke dunia, Allah membuatnya lupa. Maka kedua orangtuanya, komunitas
Masjid, Mushalla atau Langgar-nya, guru-guru Sekolah dan Universitasnya –
bertugas untuk merangsang dan mengantarkan anak-anak agar napak tilas,
mengingat-ingat kembali siapa ia, menemukan hakiki dirinya, di mana alamat
sejatinya, apa pekerjaan utamanya, bagaimana menjalankan profesi
kemanusiaannya, dan apa saja yang terkait dengan itu”.
“Itulah
hakekat pendidikan. Di situlah ditemukan filosofi pendidikan dan disusun tata
manajemennya. Padanyalah pangkal ujung lelaku Sekolah di Bumi”. Sayang sekali
kepemimpinan nasional pendidikan kita tidak belajar langsung kepada Tuhan,
padahal Tuhan sendiri turun tangan ‘allamal insana ma lam ya’lam, mengajari manusia
yang ia belum mengerti.
Yogya, 22 Juni
2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar