InspirasI

Jumat, 23 Juni 2017

Pertapaan Ramadlan
Berlatih Mudik ke Sorga

Oleh: Emha Ainun Nadjib


       Ternyata bermacam-macam jalan yang ditempuh oleh anak-anakku para Mu’takifin. I’tikaf itu semacam “olah batin”. Ada yang “parkir” saja, diam di Masjid. I’tikaf memang memparkir kendaraan dunia. Duduk, tidak ada mobilitas profesional, tidak ada perjuangan keduniaan, tidak ada laba materi, meskipun dari sudut pandang sebaliknya I‘tikaf adalah itu “tidak produktif”, karena “wasting time”, padahal “time is money”.
Syukur kepada kemurahan Allah bahwa hampir tidak ada Kaum Muslimin yang berpikir bahwa ibadah, bermacam-macam shalat, puasa, apalagi Zakat dan Haji, adalah pemborosan, buang-buang duit, menyianyiakan waktu. Bahkan di tengah maniak materialisme yang dipelopori oleh Peradaban Global yang semakin memuncak hari-hari ini, justru itu semua membuat Kaum Muslimin menemukan kembali kemesraannya dengan Allah. I’tikaf menjadi agenda yang semakin romantis dan penuh cinta bagi mereka.
Duduk diam saja di Masjid, itu sudah sebuah revolusi menuju Allah. Mungkin kosong saja, jiwa hanya berisi ingatan kepada Allah. Jasad hanya rumah, Allah Maha Tuan Rumahnya, sebab memang Ia pencipta dan pemilik rumah kehidupan kita. Kemarin dunia menguasai rumah jiwa, sampai batin kita seperti kapal pecah. Segala isi dunia berserak-serak di dalamnya: ada Mall, Supermarket, buku administrasi Kantor, isi tambang, Negara, Perusahaan, ketimpangan ekonomi, ketidakseimbangan sosial, persaingan dagang dan pemilihan umum. Segala macam yang artifisial dan superfisial. Segala yang ditertawakan oleh nyawa ketika usia menua.
Salah satu anak mengungkapkan: “Sebagaimana ketika ber-takbiratul-ihram, kedua tanganku terangkat ke samping kepala, ujung jempolku menyentuh sudut bagian bawah telinga: dunia berada di belakang punggung tanganku. Sebelum kuucapkan Allahu Akbar, aku membisiki Dunia: Maaf aku pamit dan meninggalkanmu di belakang punggungku. Sebab aku sedang menghadap Tuhan, Maha Pencipta kita semua”.

Anak ini memaknai I’tikaf adalah pembebasan diri dari dunia. Anak lain menyindir temannya: “Kita tidak boleh melarikan diri dari dunia, sebab kita dimandati untuk mengelola isi dunia. Tidak ada konsep lain dari Allah dalam menyelenggarakan kehidupan kita selain menjadikan kita Mandataris, Khalifah, di bumi. Jadi, I’tikaf bukan memerdekakan diri dari dunia. Opsi yang lebih proporsional mungkin: semacam mengambil jarak sejenak dari dunia, agar kita bisa ‘rekap’, evaluasi, review, muhasabah, sehingga besok kita lebih dewasa dan matang mengkhalifahi dunia”.

Tidak salah juga anak ini. Baginya I’tikaf adalah menarik nafas panjang, untuk menyusun kembali strategi dalam melayani problematika dunia. Maka I’tikaf baginya adalah Tafakkur, berkontemplasi, berhitung kembali, seluas-luasnya tapi juga selembut-lembutnya.
Bagi anak yang lain, Tafakkur tidak akan memperoleh komprehensi pendalaman masalah kalau tidak dilakukan dalam dialektika dengan Tadzakkur. Terdapat titik silang dinamis antara Tafakkur dan Tadzakkur. Dengan Allah harus selalu ‘online’. Tidak ada pandangan yang jernih atas sesuatu hal tanpa meminjam mripat Allah, karena tak ada selain Ia yang punya mata dan mampu melihat. Tidak ada solusi kecuali yang dilimpahkan dari hidayah Allah. Tidak ada gagasan, tidak ada ide, ilham, apalagi fadhilah, ma’unah dan karomah, kecuali atas perkenan kemurahan Allah.
Sungguh aku belajar dari berbagai pintu yang dimasuki oleh anak-anakku selama beri’tikaf: Tadabbur, Tasyakkur, Tafaqquh, pun Tafsir, yang seluruhnya berada di dalam atmosfer jiwa kerendahan hati Ta’awwudh, Tasbih, Tahlil, Tahmid dan Takbir. Aku tidak terlalu cenderung menyatakan –kepada diriku sendiri: “alangkah benarnya Islam”, sebab sejak kecil hidup adalah berjuang untuk tidak berjarak dari kebenarannya. Juga bukan “alangkah baiknya Islam”, sebab Ibu dan Ayahku menuntunku di jalanan kebaikan sosial itu sejak aku mulai bisa melangkahkan kaki.
Mungkin kuucapkan “alangkah mulianya Islam”, sebab ini tak pernah selesai kulatihkan. Atau “alangkah indahnya Islam”, sebab inilah taburan cahaya-cahaya yang membuat hidup kita menjadi sangat hidup, karena nikmat untuk meraihnya dari tahap ke tahap.
Kini kuhimpun refleksi anak-anakku para Mu’takifin ini. Ada yang mengurai terminologi “Sabil, Syari’, Thariq dan Shirath” dengan pemetaan ilmiah. Ada yang mengungkap peta alternasi strategi sosial “Robbunnas, Malikunnas dan Ilahinnas”. Ada yang menggambar keanehan manusia yang “hidup di dunia tapi berhijrah ke dunia”, sementara lainnya “berhijrah ke Allah dan Rasul-Nya”. Tentang pilihan sosial “al-muhibbin, al-mahbubin ,dan al-mutahabbin”. Lainnya meraba pemetaan dan mekanisme “Qadla, Iradah dan Amr”-nya Allah. Yang juga tak kalah menarik adalah “Hari Keempat dalam Evolusi Enam Hari sebelum Qiyamah”.
Tetapi aku menawar ke mereka agar kita mengalah beberapa hari ini –untuk menuturkan hal-hal yang tidak terlalu jauh dari atmosfer psikologis Kaum Muslimin hari-hari ini. Yakni situasi mudik. Ini Ramadlan hari-hari terakhir. Kebanyakan orang Islam hatinya sudah berada di Hari Raya Idul Fitri. Sisa satu dua hari puasanya tinggal seperti “ekor cecak mati”. Jiwa mereka sudah berada di “Riyoyo”, “Bodo”, “Bakdo” atau “Lebaran”. Jangan dimarahi. Ummat kita sangat kelaparan sejarahnya, dan sudah menetes air liurnya di depan pintu gerbang Idul Fitri.
“Mudik adalah latihan tahunan untuk membangun ketrampilan budaya agar kelak siap menjadi penduduk Sorga”, salah seorang anakku menyahut, “mudik adalah tahap awal dari pembelajaran ‘ilaihi roji’un’: kembali kepada Allah di kampung halaman asal usul manusia sejak Bapak Adam didomisilikan dahulu kala. Sebab sistem nilai sorga, software dan hardwarenya, mestinya berbeda dengan Dunia. Kalau kita hanya melatihkan dialektika dan mobilitas materialisme seperti selama ini, kelak bisa bengong di Sorga”.
“Setiap jiwa melakukan perjumpaan dan perjanjian dengan Allah sebelum ditugaskan untuk menjadi Khalifah di bumi. Perjumpaan itu di Sorga. Hanya saja begitu manusia lahir ke dunia, Allah membuatnya lupa. Maka kedua orangtuanya, komunitas Masjid, Mushalla atau Langgar-nya, guru-guru Sekolah dan Universitasnya – bertugas untuk merangsang dan mengantarkan anak-anak agar napak tilas, mengingat-ingat kembali siapa ia, menemukan hakiki dirinya, di mana alamat sejatinya, apa pekerjaan utamanya, bagaimana menjalankan profesi kemanusiaannya, dan apa saja yang terkait dengan itu”.
“Itulah hakekat pendidikan. Di situlah ditemukan filosofi pendidikan dan disusun tata manajemennya. Padanyalah pangkal ujung lelaku Sekolah di Bumi”. Sayang sekali kepemimpinan nasional pendidikan kita tidak belajar langsung kepada Tuhan, padahal Tuhan sendiri turun tangan ‘allamal insana ma lam ya’lam, mengajari manusia yang ia belum mengerti.
Yogya, 22 Juni 2017.

Tidak ada komentar: